PENDEKATAN TRANSFORMATIF
DALAM PENGKAJIAN ISLAM
MAKALAH
Oleh.
Hasbullah
Sa’adatul Abadiyah
BAB I
Pendahuluan
Islam telah menjadi kajian yang menarik banyak minat belakangan ini. Studi Islam pun makin berkembang. Islam tidak lagi dipahami dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seseorang memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, tetapi dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Bila kita melihat pada sejarah Islam pada masa awal-awal Islam di Madinah, kedatangan Islam mampu merubah tatanan masyarakat Madinah pada saat itu dari tatanan masyarakat jahiliyah yang berbudaya rendah, menjadi masyarakat yang sangat maju dibandingkan dengan masyarakat lain non Muslim. Nabi Muhammad sebagai utusan Allah tidak saja berperan sebagai pembawa risalah saja namun juga berperan sebagai seoarng pembaharu dalam segala bidang.
Dalam bidang politik misalnya, Nabi Muhammad saw.merubah dari sistem pemerintahan kesukuan menjadi sistem kekhalifahan, yang menyatukan seluruh suku dan bangsa Arab yang tadinya saling bermusuhan dan saling menguasai menjadi satu di bawah kekhalifahan. Dalam bidang ekonomi, beliau merubah sistem jual beli yang konvensional menjadi sistem jual beli yang diatur dengan sistem syariah, dengan mengharamkan riba dan segala bentuk jual beli yang merugikan orang lain.
Dalam bidang pendidikan, yang tadinya masyarakat Arab kurang tertantang untuk mencari ilmu pengetahuan, setelah Islam datang Rasulullah menganjurkan dalam berbagai macam sunnahnya agar menuntut ilmu dan bahkan Rasulullah menyamakan derajat orang yang menuntut ilmu dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Misalnya Rasulullah saw. Bersabda, “Carilah ilmu walaupun sampai kenegeri China”, “Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi orang mukmin laki-laki” dan sebagainya. Karena itu, dalam waktu singkat, ilmu pengetahuan pada masa Islam klasik, berkembang dengan cepat melampaui bangsa-bangsa lain, hingga Islam menemui masa keemasannya.
Proses modernisasi pasca kemerdekaan negara-negara Islam pada pertengahan abad ke-20 ini, di samping membawa kemajuan di beberapa bidang, juga menimbulkan persoalan baru di dunia Islam. Berbagai perubahan tidak dapat dihindari, termasuk perubahan-perubahan ke arah yang tidak dikehendaki. Salah satunya perubahan kondisi umat Islam yang semakin tertinggal jauh dari peradaban Barat Modern. Kondisi itu pada gilirannya membuat dunia Islam sangat bergantung pada negara-negara maju di Barat dalam bidang ekonomi, politik dan teknologi. Bahkan akhirnya ketergantungan tersebut menimbulkan bentuk-bentuk kolonialis baru negara-negara maju kepada dunia Islam yang rata-rata menempati status negara ketiga.
Menghadapi ketergantungan dan ketertinggalan itu, para pemikir Islam kontemporer berusaha keras mencari jalan keluar, sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh para pemikir pembaharu Islam sebelumnya. Mereka mencari sebab-sebab ketertinggalan tersebut kemudian membangun paradigma pemikir-pemikir baru yang relevan bagi umat Islam untuk menghadapi permasalahan kontemporer. Dalam mencari pemecahan masalah tersebut, para pemikir Islam memiliki perbedaan pendekatan berpikir antara pendekatan tradisionalisme dan revivalisme, adalah yang pertama lebih menekankan nilai-nilai Islam yang telah berkembang dan terlembagakan ke dalam suatu masyarakat serta aneka budayanya. Sedangkan pendekatan kedua lebih menekankan kembali kepada nilai-nilai Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabatnya, dan kurang mengapresiasi budaya-budaya lokal sebagaimana kelompok tradisional.
Adapun Islam transformatif merupakan pencarian dialogis, bagaimana agama harus membaca dan memberikan jawaban terhadap ketimpangan sosial yang saat ini disajikan kepada kita semua. Bagaimana agama menjadi solusi cerdas dalam menyelesaikan persoaln-persoalan sosial yang menghinggapi manusia beragama itu sendiri. Islam trasformatif akan menyadarkan kita betapa pentingnya berprilaku sosial dan memikirkan orang lain terutama kaum mustad’afin.
BAB II
Paradigma Islam Transformatif
A. Pengertian Transformatif
Mengawali pembahasan ini, maka akan diulas terlebih dahulu mengenai makna yang terkait dengan transformatif. Menurut Kuntowijoyo transformatif adalah perubahan bentuk. Jika dikomparasikan (digabungkan) dengan Islam maka tercipta sebuah arti yaitu islam sebagai agama yang dapat merubah bentuk tatanan sosial dari kaum yang tertindas (jahilia) hingga menjadi kaum yang tercerahkan.
Islam transformatif merupakan pencarian dialogis, bagaimana agama harus membaca dan memberikan jawaban terhadap ketimpangan sosial. Adapun konsep teologis kritis disodorkan sebagai pendekatan memahami hubungan agama dengan kekuasaan, modernisasi dan keadilan rakyat. Agama pada dasarnya bukanlah identitas sekelompok manusia. Agama diturunkan sebagai hidayah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan yang melawan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Agama tidak bisa bicara dengan sendirinya, tetapi harus ditransformasikan dan ditafsirkan oleh umat manusia. Transformasi inilah yang bisa disebut sebagai bentuk riil dari gerakan sosial baru. Tetapi sebelum melakukan transformasi, umat sejatinya telah dengan jelas melakukan kajian-kajian kritis atas fenomena sosial yang terjadi.
Umat agama-agama tidak akan pernah berhenti bergerak. Dia senantiasa dinamis sesuai dengan perubahan dan perkembangan sosial yang ada. Kemudian, bagaimana umat atau jamaah memahami teks, maka akan menjadi penting untuk dibahas. Mengingat, perkembangan yang terus terjadi sehingga teks tidak kehilangan makna historis dan konteks sosialnya. Terjadi perdebatan sengit pada arah teks ini. Ada pihak yang tetap berpendapat bahwa teks suci keagamaan tetap harus dipahami sebagaimana adanya. Dia harus dibaca secara tekstual. Sementara itu ada pihak yang berpendapat bahwa teks harus dipahami secara kontekstual, tidak literalis sebagaimana adanya. Hal ini karena, teks datang pada jamaah bukan tanpa konteks sosial yang kosong. Teks hadir dalam kondisi sosial tertentu, bukan kevakuman sosial. Di sinilah kemudian teks harus dipahami secara kontekstual, sehingga teks agama memiliki relevansinya sepanjang masa. Yang paling penting adalah substansi dan spirit dari teks tersebut yang harus dipahami dan diaktualkan.
Akhirnya, dalam konteks perkembangan zaman ini dan masa depan, keterlibatan agama membutuhkan agenda baru, berupa teologi (Islam) yang bervisi transformatif. Yakni suatu rumusan normatif tentang bagaimana seharusnya agama terlibat dalam masalah-masalah sosial, sesuai dengan perkembangan zaman.
B. Peran Paradigma Transformatif
Salah satu tuntunan agama yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, ras, suku bangsa, dan bahkan agama. .Karena itu, setiap agama mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Islam, misalnya, memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus: aspek vertikal dan aspek horizontal. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar-sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Spirit perubahan akan selalu hadir dalam Islam untuk menciptakan masyarakat yang berkesadaran secara spiritual maupun berkesadaran secara sosial (hubungan sesama manusia). Di dalam paradigma transformatif memiliki dua peran yaitu :
1. Peran spiritual, dimana peran ini menjadi estafet awal terciptanya perubahan kehidupan masyarakat. Peran spiritual yang memberikan suatu dinamika dalam kehidupan antara manusia dengan Tuhan sekaligus menjadi sebuah landasan dalam menciptakan dan membentuk suatu tatanan sosial yang sadar atas dirinya sebagai pemelihara alam dan kehidupan sosial masyarakat. Unsur-unsur yang terdapat dalam peran spiritual ini adalah melaksanakan shalat dan membaca al-Quran.
2. Peran humanitas, peran ini menjadi langkah selanjutnya dalam membentuk dinamika perubahan kehidupan antara manusia dengan manusia. Masing-masing peran tersebut nantinya akan menciptakan dan membentuk akuntabilitas (tanggung jawab) dan loyalitas (kesetiaan) terhadap harmonisasi keutuhan bermasyarakat.
Hal inipun sejalan dengan tujuan Islam sebagai agama struktur yang memiliki 2 (dua) hubungan dalam membangun kehidupan beragamanya. 1) hubungan vertikal antara manusia dengan tuhannya dan 2) hubungan horisontal antara sesama manusia. Hubungan vertikal, agama sebagai media bagi adanya penyerahan diri kepada Allah yang menciptakan seluruh makhluk hidup di semesta ini. Hubungan ini teraplikasi dalam aktifitas kehdiupan umat beragama yaitu dengan melakukan ibadah yang telah menjadi media bagi manusia sebagai umatnya untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta (Allah). Aktifitas ibadah kehidupan umat beragama dengan melaksanakan kegiatan rutin dalam kesehariannya. Kegiatan itu adalah shalat dan membaca Al-Quran.
Jika hubungan horisontal, maka agama sebagai media bagi adanya aktifitas sosial antara manusia dengan manusia. Dalam prakteknya, kehidupan beragama menjalankan aktifitas sosialnya dan menciptakan harmonisasi kehidupannya dengan melaksanakan zakat dan puasa. Dimana zakat dan puasa membangun ekuilibrium (keseimbangan) dan loyalitas (kesetiaan) terhadap pembangunan humanitas gerakan sesama manusia.
Menurut Kuntowijoyo, zakat adalah konsekuensi logis dari puasa yaitu setelah orang merasakan penderitaan lapar dan haus. Peran seseorang yang berzakat memberikan sedikit hasil jerih panyahnya kepada orang yang kekurangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Orang yang berzakat pula secara tidak langsung merasakan kehidupan orang yang kekurangan. Kegiatan ini yang menumbuhkan loyalitas umat beragama dalam menjalankan harmonisasi antara manusia dengan manusia. Dan sekaligus membagun gotong royong dalam menciptakan suasana kebersamaan dalam menjalankan aktifitas kehidupan beragamanya. Untuk itu Islam bukanlah agama yang dekat dengan kekerasan tetapi agama yang memiliki tradisi untuk mengharmonisasikan kehidupannya sekaligus membangun tradisi transformasi sosial dalam hubungan beragamanya.
Kalangan Teologi Transformatif dalam hal ini memang terlihat lebih menekankan perhatian kepada soal kemiskinan dan ketidakadilan. Bahwa arus besar modernisasi dengan ideologi pembangunannya, telah menghasilkan eksploitasi dan marjinalisasi terhadap kaum miskin, dhu’afa, dan mustad’afin. Kemiskinan, pada gilirannya, mengakibatkan banyak umat manusia yang tidak mampu mengekspresikan harkat dan martabat kemanusiaannya. Arus besar modernisasi juga telah melahirkan struktur sosial yang tidak adil, dimana terjadi konsentrasi kekuasaan, modal, dan informasi hanya pada segelintir kelompok elite. Mereka inilah yang mengontrol sejumlah orang yang hidup tanpa kesempatan dan harapan untuk mengubah masa depannya.
Kedua peran yang telah disinggung di atas dimiliki islam guna menciptakan harmonisasi kehidupan bersosial dan sekaligus sebagai pondasi keutuhan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Banyak sekali orang beranggapan bahwa Islam sebagai suatu agama yang tidak menjaga harmonisasi kehidupan sosialnya. Hal ini dilatar belakangi oleh banyaknya kekerasan yang terjadi menimbulkan anggapan-anggapan miring di tubuh umat Islam maupun eksternal umat Islam. Anggapan suatu yang dekat dengan kekerasan dan tidak mementingkan toleransi dalam membangun kehidupan beragamanya menjadi hangat diperbincangkan sekarang ini. Mungkin saja anggapan itu terjadi sekarang ini. Karena jika melihat fenomena sekarang ini terjadi. Islam menjadi sorotan publik. Banyaknya media-media yang menyoroti aktifitas kehidupan beragama yang melakukan aksinya dengan sikap kekerasanlah yang membuat anggapan-anggapan miring tersebut bermunculan.
Pemikiran transformatik, sebuah pandangan pemikiran yang bertolak bahwa Islam yang utama adalah kemanusiaan. Oleh sebab itulah, secara terus-menerus umat Islam harus menjadi kekuatan yang dapat melakukan motivasi dan mentransformasi masyarakat dari pelbagai aspeknya dalam skala yang teoritis maupun praksis. Dalam pandangan pemikir transformatif ini, Islam haruslah menjadi gerakan pemberdayaan masyarakat (empowerment) dan community development sehingga Islam mengarah pada pembebasan manusia dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan dan seterusnya. “Pembumian” Islam menjadi corak paling dominan dari gerakan transformatif ini.
Di sisi lain bahwa pemikiran trasformatif itu sendiri akan melahirkan kesadaran terhadap diri manusia, yang mana oleh Freire digolongkan menjadi tiga : Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini “masalah etika, kreativitas, “need for achievement” dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena “salah” masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya “membangunan”, dan seterusnya. Ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “bloming the victims" dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat.
C. Ciri-ciri Islam Trasformatif
Kehidupan keagamaan trasformatif seperti yang diharapkan mulai terkikis. Pemahaman keagamaan saat ini sering terhenti hanya pada sebatas simbolis titualistik belaka. Sementara prilaku social, ekonomi, politik budaya dan lain sebagainya tidak lagi bersentuhan agama. Banyak diantara penganut agama saat ini yang memiliki pemahaman keagamaan yang matematis, simplitis dan parsial. Ia memilih melakukan ibadah sekian banyak pahalanya. Namun pada saat yang bersamaan ia juga melakukan perbuatan dosa dan maksiat, dengan anggapa bahwa pahala amal ibadahnya itu dapat menghapuskan atau sekurang-kurangnya mengimbangi perbuatan dosa dan maksiatnya. Sehingga cara pandadang pemahaman agama yang sempit dan tidak memperdulikan kehidupan social sehinga akan melahirkan keberagamaan yang timpang dalam proses-proses melakukan apa yang di ajarkan dalam agama itu sendiri.
Menurut Abuddin Nata, ciri-ciri Islam Transformatif adalah :
Pertama, Islam transformatif selalu berorientasi pada upaya mewujudkan cita-cita Islam, yaitu membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam.
Kedua, mengupayakan adanya keseimbangan antara pelaksanaan aturan-aturan yang bersifat formalistik dan simbolis dengan missi ajaran Islam tersebut. Bahkan jika suatu aturan formalistik atau simbolik tersebut terlihat menghambat pencapaian tujuan, maka aturan formalistik atau simbolik tersebut harus diubah, atau diberi makna baru yang sesuai dengan tujuan.
Ketiga, mewujudkan cita-cita Islam, khususnya keberpihakan terhadap kaum lemah dalam mengangkat derajat kaum dhu’afa atau orang-orang yang tertindas, dan juga diarahkan kepada penegakan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, sopan santun, kejujuran dan keihlasan. Menegakkan nilai-nilai demokratis seperti kesetaraan (egaliter), kesamaan kedudukan (equality), dan sebagainya. Keempat, senantiasa memiliki concern dan respons terhadap berbagai masalah aktual yang terjadi dalam masyarakat.
Sehingga dapat kita pahami bahwa Islam trasformatif mengajarkan kepada kita untuk tidak memahami agama itu pada symbol dan memandang agam itu menjadi sebuah barang atau pekerjaan yang formal. Tetapi jauh dari itu bahwa seharusnya kita memandang agama adalah sebuah ajaran yang menegakkan dan atau berisi tentang nilai-nilai kemanusiaan yang jauh dari hanya sebuah symbol dapat diartikan bahwa Islam trasformati tidak hanya melihat dari sisi tekstual melainkan melian kontekstual kebergamaan itu sendiri. Selain itu juga dapat dipahami Islam trasformati juga adalah sebuah upaya untuk mewujudkan dari cita-cita dan tujuan Islam itu sendiri sebagai agama yang rahmatan li’alamin.
D. Corak Pendekatan Transformatif
Islam sesungguhnya tidak hanya memiliki kepedulian yang inklusif pada tingkatan memperjuangkan harrkat dan martabat kemanusiaan (dan ini sudah di buktikan bahwa Islam membuaka seluas-luasnya) bahkan lebih dari itu, menganjurkan membangun kerjasama dibidang peradaban sehingga muncul suatu kehidupan manusia yang bercorak transkultural yang damai dan saling menghargai. Islam memang dan terus akan bahwa tidak boleh ada pemaksaan, tidak boleh ada penindasan, dan tidak boleh ada kekerasan selama akal sehat dan hati nurani kemanusiaan itu masih tumbuh secara wajar dan selama hegemoni serta eksploitasi tidak menjadi ancama serius kemerdekaan dan pemerdekaan umat manusia .
Obsesi teologi transformatif adalah ingin menganalisis penyebab kemiskinan, keterbelakangan dan kemunduran umat dari sudut pandang struktural. Selama ini, teologi modernisasi sudah memecahkan problem tersebut dengan menunjukkan bahwa “ada yang salah” dalam berteologi selama ini. Dalam bahasa retoriknya, pada dasarnya keterbelakangan dan kemunduran umat disebabkan oleh sikap fatalistik, dan penyerahan diri kepada nasib, atau karena etos sosial dan etos kerja yang rendah.
Kritik teologi transformatif adalah: bahwa keterbelakangan bukan disebabkan faktor-faktor teologis, budaya, atau mentalitas, tetapi lebih disebabkan oleh akibat “ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan dunia ketiga, yang berwatak imperialisme pada tingkat global, dan bentuk-bentuk eksploitasi serta hubungan-hubungan yang tidak adil pada tingkat lokal, yang dijalankan melalui hubungan dan cara produksi yang menghisap. Cara berpikir struktural semacam itu, adalah khas di kalangan teologi transformatif yang berusaha memperhitungkan penderitaan dan kebutuhan yang dirasakan para pelaku dalam suatu kelompok sosial, dengan cara melihatnya sebagai akibat dari konflik struktural di dalam tatanan sosial yang ada. Teologi ini berusaha menggambarkan konflik-konflik struktural tersebut, dengan cara memberikan penjelasan secara historis tentang sebab-sebab terjadinya penindasan.
Teologi transformatif tidaklah memisahkan antara teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari kritik dialogis, ke kritik tafsir, kemudian mencari tafsir alternatif dan mewujudkannya dalam tindakan praksis sosial sebagai praksis teologis.
Dengan demikian, kalangan teologi transformatif berusaha memanfaatkan, sekaligus mensintesakan berbagai analisis sosial dan tafsir Kitab Suci atas realitas sosial-keagamaan dewasa ini. Transformasi sebenarnya adalah konsep yang luas dan menyeluruh. Sebab menyangkut pembaharuan beberapa aspek secara serentak, secara reflektif, baik yang berkaitan dengan ajaran, maupun kelembagaan dan formasi sosial. Sedangkan visi, juga mempergumulkan ketentuan normatif dengan hasil pembacaan realitas. Jika pergumulan ini tidak terjadi, visi itu tidak mungkin akan lahir. Mengapa, karena ayat akan tetap dipelajari sebagai ayat–dan bukan ruhnya yang diambil untuk memerangi perubahan sosial. Dalam zaman modernisasi sekarang, ketika proses dehumanisasi mengancam solidaritas kemanusiaan, sudah saatnya mencari rumusan visi yang lebih besar. Yaitu bagaimana mengutuhkan kembali hubungan sosial yang terkoyak-koyak oleh ketimpangan dewasa ini, dalam kesadaran iman yang aktual, walau dimulai dengan serangkaian kegiatan transformatif yang sekecil apapun.
Sehingga kegiatan trasformatif dalam Islam tidak akan terlepas dari garis-garis tauhid yang telah di tentukan oleh agama sehingga pedekatan trasformatif dalam Islam tidak menjadi hala yang di perdebatkan atau di perbincangkan terus menerus malainkan Islam trasformatif dalam langsung di implemetasikan. Bericara tauhid ulama besar dan mufassir al-Qur`an Thabathaba’i mengatakan “tauhid, bila diuraikan akan menjadi keseluruhan Islam, dan bila Islam dirangkum akan diperoleh tauhid”. Tauhid bagaikan khazanah yang disatukan. Pada permukaannya akan kelihatan prinsip akidah yang sederhana, tapi apabila direntangkan ia akan meliputi seluruh alam. Artinya, keseluruhan Islam adalah suatu tubuh yang terbentuk dari berbagai anggota dan bagian, sedangkan jiwanya adalah tauhid. Ketika tauhid (sebagai ruh) terpisah dari anggota dan bagian itu (dalam bentuk amaliyah dan sikap), maka yang akan terbentuk hanyalah seonggokan bangkai yang tak bernyawa alias mati .
Sejalan dengan hal itu Tauhid sebagai sentral dan dasar keyakinan dalam Islam ini menjadi sumber totalitas sikap dan pandangan hidup umat dalam keseluruhan dimensi kehidupan. Pandangan Tauhid yang bersifat menyeluruh ini selain melahirkan keyakinan akan ke-Maha-Esaan Allah (unity of Good head) juga melahirkan konsepsi ketauhidan yang lainnya dalam wujud keyakinan akan kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan pedoman hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of tbe purpose of life) umat manusia .
Menurut Asghar Ali, konsep tauhid bukan sekedar bermakna keesaan Tuhan tapi juga bermakna kesatuan manusia. Tauhid adalah jalan untuk pembebasan kemanusiaan. Untuk itu, penanaman tauhid yang kokoh mestilah diikuti dengan komitmen kemanusiaan yang kokoh pula. Menurut Hasan Hanafi, pada dasamya Islam memiliki perangkat yang cukup untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan. Selama ini, kita sering menjadikan ritual-ritual sebagai tujuan. Padahal, ikrar kita bahwa tiada Tuhan selain Allah berarti ikrar bahwa setiap penindasan harus dihancurkan. Karena penindasan adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Tuhan.
Pada tataran sosial, kekuatan tauhid pada diri Rasulullah Saw. Membuatnya berani membela mereka yang direndahkan, teraniaya, dan terlemahkan secara struktural dan sistemik (mustadh’afîn), budak, dan anak-anak yang diperlakukan oleh para penguasa dan pembesar masyarakat yang menutupi kezalimannya di balik nama Tuhan. Sehingga dapat dipahami bahwa model apapun pendekatan kita dalam memperlajari Islam atau mengamalkan Islam nilai-nilai Tauhid tidak bisa di tinggalkan, sebab tauhid adalah pokok utama dalam pengamalan ajaran agama Islam. Sehingga pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk mempelajari atau mengamalkan Islam adalah salah satu cara yang di guna untuk memahami Islam dalam bentuk kontekstual sehingganya kita sebagai orang yang ada di dalammnya tidak tercebak dalam Tauhid simbolisasi atau simbolisasi tauhid.
BAB III
Kesimpulan
Islam trasformatif lebih menyuarakan kepentingan kelompok yang termarjinalkan dan teraniaya akibat modernisasi, ketimbang mempromosikan modernisasi. Islam transformatif mendalami persoalan-persoalan keumatan tidak melulu terkait soal negara dan tafsir keagamaan. Soal ketimpangan sosial, kemiskinan, ketidakadilan, kapitalisme global, juga dicari pemecahannya. Islam transformatif menekankan negara harus memberi perlindungan atas orang miskin, tertindas, atau mustad’afin. Kajian Islam dalam menggunakan pendekatan trasformati merupakan cara untuk melihat Islam dari sisi yang lain, yang mana tidak semua orang melihat sisi tersebut, sehingga akan lahir pemikiran-pemikiran baru dalam pengamalan Islam.
Melalui pendekatan ini agama tidak hanya dipahami sebagai hubungan mesra antara seseorang dan Tuhan-Nya, maka tidaklah berlebihan kiranya tuduhan bahwa agama hanyalah candu. Agama hanya membuat manusia “terlena” dengan kenikmatan ritual tanpa peduli dengan realitas disekelilingnya. Seharusnya agama merupakan sistem yang mengatur dan memahami sebuah segi kehidupan sehingga agama mempunyai tanggu jawab dalam semua sendi dan aspek kehidupan manusia maka mengahantarkan terwujudnya Islam sebagai agama rahmatan lilalamin.
Islam trasformatif mengajarkan kepada kita untuk melakukan Dakwah pembebasan yang mulia yang mana dakwah tersebut memerlukan peneguhan dan penajaman agar lebih tepat sasaran dan menghasilkan kemajuan dalam mengentaskan kaum miskin dan mustad’afin.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Moeslim, Islam yang memihak, , LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2005. ______________, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997).
al-Faruqi, Isma’il Raji. 1992. Islam Sebuah Pengantar. Bandung: Penerbit Pustaka.
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokrasi, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002.
Budi Munawar Rahman, Islam Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2001.
http://abraraziz.wordpress.com/teologi-al-maun-landasan-teologis-membela-kaum-tertindas, diakses tanggal 10 Oktober 2013
http://chengxplore.blogspot.com/2011/03/islam-transformatif-membongkar-tradisi.html, Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.
http://kritik-kemajuan.blogspot.com/2009/09/islam-transformatif.html. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2013.
Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2007.
Misbah, Muhammad Taqi. Monoteisme, Tauhid Sebagai Sistem Nilai Dan Akidah Islam. Jakarta, PT. Lentera Basritama. 1996.
Munirul Abidin dalam J.L Segundo, Liberation of Theology, Dublin, Gill and Mcmillan, 1997.
http://www.scribd.com/doc/31540001/Islam-Transformatif, Diakses pada tanggal 7 Oktober 2013.
Moh. Nurhakim, Islam: Tradisi dan Reformasi “Pragmatisme” dalam Pemikiran Hassan Hanafi, Jakarta: Banyumedia Publishing, 2003.
Rais, Amin. Cakrawala Islam, Bandung; Mizan. 1997.
Ummi Kamilah dalam http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/my-article.html. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2013.
Zuly Qadir, Islam Liberal “Paradigma baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, (Yogyakarta: 2003), hlm. 23-24.
Mata Kuliah : Sejarah peradaban Islam
Judul Makalah : Pendekatan Transformatif Dalam pengkajian Islam
Dosen : Dr. Hasan Mukmin, M.Ag
Pemakalah : Sa’adatul Abadiyah dan Hasbullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar